Rabu, 15 Juni 2011

SHINTA DAN RAMA

Shinta sangat yakin, kobaran api yang  menyala tidak  akan menghanguskan tubuhnya. Tumpukan  kayu yang menggunungi tubuhnya, dan sebentar lagi  akan menjadi  kobaran  api  tidak  menggentarkan   hati Shinta.  Dia  memang masih  suci.  Berbulan  cengkeraman  Rahwana  di Alengka,  tidak  segundah saat dia mulai merasakan Rama tidak mempercayainya lagi.  Rama,  sang suami  yang  harus  mengalahkan puluhan ksatria untuk dapat mempersuntingnya. Rama yang  dicintainya sepenuh hati. Pria  yang  didampinginya selama empat belas tahun dalam pembuangan di hutan Dandaka.  Mengapa Rama yang menentukan  uji  kesucian dengan  membakar dirinya. Mengapa harus Rama  sendiri yang memerintahkan dan mengawasi  pengumpulan kayu.  Mengapa  Rama  tidak  berusaha  membatalkan ujian kesucian ini. Apakah Rama memang tidak  lagi mempercayai sumpah kesucian yang diucapkannya.

Bujukan  Dewi Agni yang berjanji  akan  mendinginkan  api,  tidak menjanjikan kedinginan  hati Shinta.  Memang, tubuhnya tidak terbakar. Namun tiada penawar bagi hatinya mulai berkobar. Betapa tidak. Sebelum  dibakar  untuk menguji  kesuciannya,  dia masih sangat mengharapkan  sebuah senyuman penguat hati  dari  Rama.  Tak  diperolehnya.  Rama  menghantarnya   dengan  pandangan  dingin   ketika menuju  tumpukan kayu yang akan membakarnya.  Pandangan  mata  itu dinilainya sangat  angkuh.  Dari sinar  mata itu dia juga tahu, Rama ternyata  mencurigai  kesuciannya.  Jadi  kata-kata  Rama  yang mengatakan bahwa ujian itu semata untuk  membuktikan  dan  menenangkan hati  rakyat  adalah  dusta. Kalau  memang Rama tidak curiga,  persetan  dengan rakyat. Bukankah selama ini Rama juga lebih mengutamakan  pikirannya dari kepentingan dan kemauan  rakyat.  Mengapa kali  ini berlindung dibalik nama dan  atas kepercayaan rakyat.

Hangatnya  lidah  api  yang  mulai   menjilati tubuhnya,  telah menaikkan gairah  Shinta.  Gairah pengkhianatan yang dinikmatinya. Butiran  keringat di  kening,  erangan, tarikan nafas  dan  geliatan tubuhnya  menyambut dengan sempurna  pengkhianatan itu.  Mungkin  dari balik kobaran  api  Rama  bisa melihat geliatannya. Juga rona muka yang  memerah. Ah.  Persetan  dengan Rama. Shinta  telah  menghadirkan  Rahwana  dalam  angannya.  Dan  dia  tidak merasa berdosa untuk itu. Shinta  memang  pernah hampir  takluk  tatkala ditawan di Alengka. Rahwana, raksasa berwajah  dan berperangai  buruk seperti gambaran  semua  orang, ternyata lelaki ksatria. Shinta baru sadar, Rahwana  lebih ksatria dan berani menghadapi  kenyataan dari pada Rama.
"Oke. Aku memang berwajah dan berperangai buruk. Tidak segagah dan setampan Rama. apakah aku tak berhak untuk mencintai seorang perempuan yang kukagumi," Rahwana menyatakan cintanya terus terang.
"Mengapa harus aku. Aku sudah dimiliki Rama?"
"Mengapa  harus Rama yang  memilikimu,  mengapa bukan aku?"
"Aku mencintai Rama, dan Rama mencintaiku"
"Apakah kau yakin dia mencintaimu ?"
"Mengapa tidak?"
"Kau ditinggal dengan seribu batasan dan kekangan. Dia pergi berburu untuk memuaskan hatinya. Apakah kau yakin Rama benar benar mencintaimu?"
Setiap pernyataan cinta yang dikeluarkan Rahwana terlihat sangat tulus. Rahwana juga enteng saja menyatakan  bahwa  dia hanya  membawa  satu  bibit cinta pada saat kelahirannya. Cinta itu hanya akan disemai  bila  Shinta menerimanya.
"Silahkan kau tanya para dewa di kahyangan. Apa mereka ada menghadirkan wanita lain dalam  kehidupanku.  Aku hanya sekali menyatakan  cinta  pada wanita.  Dan  kaulah orangnya,  kau  harus  hargai perasaanku  padamu." Kata itu selalu diulang  oleh Rahwana setiap Shinta menampik lamarannya.
Sebagai  wanita, wajar saja kalau  sesaat  dia hampir  terlena  dengan  sanjungan  yang  langsung menyergap  seluruh  celah  hatinya.  Rahwana  yang kasar.  Rahwana  yang jantan, namun  tidak  pernah berusaha  memaksakan kehendak syahwatnya.  Rahwana yang sangat menghargai kewanitaannya. Rahwana yang sanggup  menculiknya dari Rama sang  raja  perkasa hanya  karena tergoda cinta. Kalimat  itu  kembali tergiang di telinga Shinta. Terngiang lagi. Kobaran  api  itu semakin tinggi.  Gejolak  benci  juga semakin tinggi.
"Kau hanya simbol Shinta. Bagi Rama kau  adalah simbol  kekuasaan dan kegagahannya. Aku  membutuhkanmu karena kau memiliki segala keagungan,  ketabahan,  kesetiaan dan cinta yang didambakan  laki-laki. Dalam sayembara perebutanmu, Rama bukan hanya berhasil  memboyongmu ke Ayodya. Dia  juga  sangat menikmati  kemenangan  itu. Rama tak  akan  pernah bisa jujur menyatakan mana yang lebih  membahagiakannya, memiliki kau sebagai hadiah atau memenangi pertandingan  itu  sendiri.  Agar  kau  tahu,  aku bertanding  dengan  kebenaran  dan  sejarah  untuk merebut  hatimu.  Aku sadar  berada  dipihak  yang kalah. Dewa-dewa tidak pernah berpihak kepadaku.  Besarnya pengorbanan diriku untuk  merebut cintamu juga akan dicatat sejarah", kata kata  itu diucapkan Rahwana dengan sungguh sungguh.  Rahwana tidak menujukkan kekuasaannya sebagai maharaja  di Alengka. "Cinta yang tulus harus bebas dari tekanan  dan kekuasaan", begitu yang selalu diucapkan Rahwana.

Kobaran  api masih tinggi. Dari balik  jilatan lidah api Shinta dapat melihat gambaran  kecemasan dari  wajah-wajah  rakyat  yang  menyaksikan   kesuciannya.  Wajah  yang  selalu  menyanjung  dan menyayanginya.  Mereka semua kagum atas  ketabahan Shinta  mengikuti  Rama dalam  pembuangan.  Mereka khawatir  dan cemas Shinta akan hangus dalam  api. Wajah kecemasan itu tidak terlihat pada Rama. Yang terlihat  hanya  keangkuhan  dan  kepuasan   hati. Angkuh  sebagai raja yang telah berhasil  menghancurkan Alengka dan membunuh Rahwana yang coba-coba menculik  isterinya. Puas karena  Shinta  terpaksa harus diuji kesuciannya. Pantang Rama makan  sisa. Wajah yang anggun dan berwibawa bagi rakyat. Tanpa rasa dan cinta bagi Shinta.

Panas api membara. Panas membara hati  Shinta. Kebencian itu tak tersembunyikan lagi. Menyelimuti hati, mengaburkan mata. Perlahan wajah Rama terlihat  berubah menjadi wajah Jatayu  yang  mengerang kesakitan  karena sayapnya patah dipukul  Rahwana. Kemudian  berubah lagi menjadi wajah Hanuman.  Ah, kera  yang kocak itu kini telah tiada.  Terakhir  kali  dia melihatnya di Alengka.  Kera  itu menyerahkan  cincin  Rama, dan  Shinta  memberikan tusuk kondenya pertanda dia masih selamat.  Apakah dia  dicurigai  terselingkuh  karena   menyerahkan tusuk  konde yang biasanya dijadikan senjata  terakhir  wanita  untuk  bunuh  diri  bila  dicemari. Kejamnya kecurigaan itu. Buat apa dia bunuh  diri? Rahwana tidak pernah menyentuh tubuhnya.
"Aku meminta kau jadi isteriku. Bukan memaksa. Aku ingin hatimu, bukan badanmu," Rahwana mengatakan  hal  itu sewaktu dia dipanggil  dalam  status tawanan,  dengan diiringi beberapa dayang  kedalam taman  istana  Alengka. Tidak  di  kamar.  Memang. Belum  pernah sekalipun Rahwana memaksa  masuk  ke kamarnya  seorang  diri.  Harga  dirinya   sebagai wanita tetap dihargai tinggi oleh Rahwana. Rahwana tidak  pernah  mengambil tusuk  konde  itu  karena curiga  akan  digunakannya sebagai  senjata  bunuh diri. Rahwana juga tidak curiga Shinta akan  menggunakan tusuk konde itu untuk membunuhnya.

Kini  Shinta  sangat sadar  bahwa  kecurigaan pandangan  Rama  ternyata  lebih  menakutkan  dari wajah  Rahwana.  Rahwana  sang  raksasa   berwajah bengis  tidak pernah mencoba untuk  memperkosanya. Rahwana  memiliki kesempatan dan  kekuasaan  untuk berbuat  semaunya  atas  diri  Shinta.  Dia  tidak manfaatkan. Shinta terlalu angkuh dan juga terlalu setia  dengan  Rama. Rama yang kini  tega  memanggangnya  dalam  gejolak  api  membara.  Rama  yang selalu  menuntut pengabdian dan kesetiannya.  Rama yang  selalu  menganggapnya  sebagai  isteri,  tak pernah sebagai kekasih.

Tumpukan  kayu bakar mulai berkurang dimakan api.  Tetapi tumpukan dendam dan benci dalam hati  Shinta terhadap kecurigaan Rama justru makin tinggi. Shinta mendoakan semoga semua korban yang  mati terbunuh dalam peperangan  Alengka  dan Ayodya  tidak  mengutuk dirinya. Para korban  itu  harus tahu,  mereka  mati untuk  Ayodya  dengan  Ramanya, bukan  untuk Shinta. Kumbakarna mati bukan  membela Rahwana tetapi mati untuk Alengka. Sebagaimana juga Indrajit mati karena menjadi rakyatnya Rama,  bukan untuk  merebut Shinta. Ribuan mahkluk   telah  mati untuk  mempertahankan prinsip, kepercayaan, harga diri dan keangkuhan. Rahwana  juga mati karena para dewa lebih  berpihak pada  Rama. Shinta mendoakan mereka  dan  sekaligus merapalkan penjelasan, pada posisi kematian mereka, Shinta  hanya  pelengkap untuk sejarah  bukan  jadi penyebab.
"Ah kasihan kau Rahwana," Shinta mengeluh  dan menghadirkan  terus bayang  wajah  Rahwana.  Wajah   sang pemuja.  Pemberi sanjungan yang belum pernah  diterimanya dari Rama. Gemeretik kayuan yang  terbakar, meningkatkan irama pengkhianatannya terhadap  Rama. Naik  semua hasrat birahi menjulang  bersama  asap. Naik semua penyesalan yang telah mengabaikan  cinta Rahwana. Cinta yang dibuktikan dengan upaya  penculikan serta ucapan yang  membara dan sangat menggoda.  Disertai tarikan nafas dalam  Shinta  berharap Rahwana  dapat  menyambut  penyesalannya  "diatas" sana.

Satu satu bara api mulai padam. Satu satu bara birahi  Shinta juga padam. Shinta tertidur  lelap. Wajah Rahwana membuai dalam impiannya. Puas. Puas. Shinta dapat  membuktikan bahwa kesuciannya memang  tidak ternoda. Puas meraup arti cinta sejati dari bayang  Rahwana.  Api  yang bernyala memang tidak  mampu menghanguskan tubuhnya.  Hanya kepercayaan dan  cintanya  kepada Rama  yang  menjadi abu. Dia  tetap  jadi  Shinta, lambang cinta dan kesetiaan. Tetapi tidak ada yang tahu, cinta Shinta juga ada bagi Rahwana. (Jaya Arjuna)

1 komentar: