Sabtu, 25 September 2010

DANAU TOBA, PEMANFAATAN DAN PERMASALAHANNYA

         Salah satu kekayaan alam Sumatera Utara yang paling luar biasa adalah Danau Toba. Danau Toba merupakan danau volkano tektonik. Letusan gunung Toba yang terjadi sekitar 75.000 tahun lalu mengakibatkan terjadinya luncuran magma sebanyak 2.800 Km3, sehingga perut bumi menjadi kosong.  Kulit bumi yang tidak mampu menahan beban akibat beratnya sendiri, akhirnya patah dalam beberapa potongan. Potongan terbesar menjadi Pulau Samosir. Bahagian lain terisi air. Terbentuklah Danau Toba sebagai danau terluas di dunia. Luas permukaan air danau adalah 1.130 Km2, daerah tangkapan air 3.698 Km2, kedalaman 505 m, panjang 110 km dan lebar 30 km. Volume air Danau Toba diperkirakan 1,18 triliyun meter kubik. Pulau Samosir yang merupakan pulau dalam pulau terluas di dunia memiliki luas 630 km2.  Kejadian letusan Gunung Toba dinyatakan sebagai letusan gunung berapi terdahsyat selama 25 juta tahun terakhir. Debu yang disemburkan pada kejadian letusan menyebar ke seluruh bumi. Ketebalan debu yang jatuh di India mencapai 15 cm dan di sebahagian Malaysia bahkan mencapai ketebalan 9 meter. Bumi mengalami penurunan temperature ±3,50C akibat bertahun-tahun tertutup debu, sehingga dinyatakan sebagai penyebab terjadinya zaman es.  
Kejadian pembentukannya yang sangat luar biasa menciptakan Danau Toba sebagai bentang alam yang maha indah. Potensi Danau Toba sebagai tujuan wisata alam sangat besar. Hampir seluruh wilayah memiliki nilai keindahan yang luar biasa. Banyak misteri dari berbagai sisi Danau Toba yang masih belum terungkap, atau bahkan sudah musnah sebelum diketahui rahasianya. Daratan Samosir yang terbentuk dan terpisah dari daratan pulau Sumatera pasti memiliki keunikan fauna flora tersendiri. Kita bahkan belum banyak mendapatkan data flora fauna endemik tersebut, padahal sebagian besar wilayah hutan di daratan Samosir sudah rusak. Kita sedang menjadi saksi sejarah terjadinya perpacuan kerusakan keindahan dan penurunan kualitas keanekaragaman hayati dan lingkungan Danau Toba karena kebijakan pertumbuhan pembangunan yang tidak berpihak melestarikannya.
Pertumbuhan peradaban manusia yang menyandarkan kualitas hidupnya pada ketersediaan air, menyebabkan terjadinya  penyebaran penduduk pada seluruh wilayah sekitar pinggiran Danau Toba di daratan Sumatera maupun daratan Samosir. Saat ini sudah terdapat 123 pemukiman masyarakat di pinggir Danau Toba pada wilayah Pulau Sumatera, dan 71 pemukiman di Pulau Samosir. Lemahnya pengawasan terhadap pelestarian daerah danau sebagai kawasan lindung, dapat dilihat dengan banyaknya bangunan yang didirikan di bibir pantai, bahkan dengan mengurug danau. Hal ini juga berarti pelanggaran terhadap Perda Nomor 1 Tahun 1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba yang menyatakan bahwa tidak boleh ada bangunan dalam areal 50 meter dari bibir pantai. Pelanggaran ini sekaligus juga melanggar aturan nenek moyang yang mendiami Pulau Samosir, karena pemukiman Raja di Tomok ternyata dibangun sekitar 50 meter dari bibir pantai.
Pemanfaatan Aliran Sei Asahan
Danau Toba merupakan wilayah pengumpul air.  Berdasarkan data dari   Badan Pelaksana Kordinasi Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba, dalam wilayah daerah tangkapan air Danau Toba terdapat 205 sungai yang bermuara ke Danau Toba. Dari daratan Sumatera terdapat 142 sungai, termasuk Lau Renun sebagai sungai rekayasa manusia untuk membangkitkan tenaga listrik. Daratan Samosir menyumbang 63 sungai. Satu-satunya saluran keluar air dari Danau Toba hanyalah melalui Sei Asahan dengan debit air alami 87,9 m/detik s.d. 105.4 m/detik. Adanya beda ketinggian dan volume air yang cukup besar, menjadikan Sei Asahan memiliki kandungan energi yang sangat potensial untuk membangkitkan tenaga listrik.
Penyelidikan potensi Sungai Asahan sebagai pembangkit tenaga listrik sudah dirintis sejak tahun 1908. Tahun 1962, Uni Sovyet melakukan penelitian yang merekomendasikan pembangunan pembangkit tenaga listrik. Menurut penelitian tersebut, sepanjang Sungai Asahan terdapat lima titik air terjun yang potensial menghasilkan listrik yaitu Simangkuk 120 MW, Simorea 150 MW, Sigura-Gura 320 MW, Tangga 412 MW dan Tratak 200 MW. Total potensi perkiraan listrik yang bisa dibangkitkan dari aliran Sungai Asahan adalah 1.202 MW. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menetapkan manfaat dan tujuan pembangunan pembangkit listrik Sei Asahan adalah untuk: (a) memproduksi bauksit dari Pulau Bintan dengan kapasitas 200.000 ton/tahun, (b) mengembangkan industri rakyat di Sumatera Utara, (c) memenuhi kebutuhan penerangan listrik untuk rakyat. Dan (d) memperluas areal persawahan dengan sistem pengairan teknis yang teratur dengan instalasi pompa air bertenaga listrik.  Tujuan dan manfaat Sei Asahan ini bahkan dijadikan bahan ajar bagi peserta didik di Sumatera Utara, sehingga semua masyarakat tahu bahwa bila Sei Asahan sudah dimanfaatkan, maka masyarakat Sumatera Utara tidak akan kekurangan listrik. Walaupun pada akhirnya ide pembangkitan listrik dari Sei  Asahan tercapai,  namun sejak pembangkit listrik mulai dioperasikan hingga sekarang,  seluruh tujuan dan maksud pembangunan PLTA yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara sedari awal, tidak ada satupun yang tercapai.
Tanggal 7 Juli 1975, Jepang melalui PT Indonesia Asahan Aluminium telah merealisir pemanfaatan aliran Sungai Asahan dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air Asahan II di Sigura-Gura dengan kapasitas turbin 4 x 73,2 MW dan Tangga 4 x 81.1 MW (total kapasitas terpasang 617,2 MW) dan mulai beroperasi pada tahun 1983,. Pada waktu PT Inalum akan beroperasi, muka air Danau Toba adalah 904,3 m dpl. PT Inalum mengeruk dasar sungai Asahan dari Porsea hingga Siruar sepanjang 13,6 km hingga dasarnya mencapai ketinggian 901 m. Pada kondisi ini, turbin akan tetap dapat beroperasi sampai muka air terendah 902,4 meter. Dengan dibangunnya bendungan pengatur di Siruar, tinggi muka air Danau Toba dapat dikontrol secara mekanis.  Danau Toba menjadi satu-satunya dam alami terluas di dunia. Bendungan pengatur di Siruar efektif hingga ketinggian 905,8m. Bendungan Siruar sekaligus juga menahan dan mengatur ± 5,7 milyar m3 air dengan satu-satunya saluran keluar adalah Sei Asahan. Setelah melalui Kabupaten Asahan dan Tanjung Balai, Sei Asahan bermuara di pantai Timur Sumatera.
 Akibat pengerukan dasar sungai Asahan, terjadi perubahan luas penampang laluan air sehingga kapasitas aliran air semula 75 m3/detik (905 m) menjadi 153 m3/det (902,4 m). Operasional PT Inalum menyebabkan aliran air keluar lebih tinggi dari debit normal, sehingga terjadi pengurangan tinggi muka air Danau Toba secara terus menerus. Penurunan muka air makin meningkat karena pada tahun 1987 terjadi curah hujan di bawah normal. Muka air Danau Toba bahkan mencapai ketinggian hingga 902,66 dpl. Rendahnya curah hujan serta terjadinya kerusakan hutan sebagai pengatur air pada daerah tangkapan air Danau Toba, menyebabkan muka air turun hingga di bawah 903 m. Kejadian ini berlangsung pada tahun 1990 (902,91m), 1998 ( 902,28m) dan 1999 (902,87m). Pada waktu muka air turun, terbentuklah tanah timbul di sekeliling Danau Toba. Tanah timbul ini dimanfaatkan masyarakat sebagai areal pertanian dan bahkan juga bangunan untuk fasilitas pribadi dan umum. Demikian juga halnya sepanjang aliran Sei Asahan, terjadi tanah timbul karena muka air Sei Asahan juga turun.
Penurunan muka air Danau Toba menyebabkan munculnya konflik di tengah masyarakat dengan berbagai dugaan penyebabnya. Pada saat rendahnya curah hujan, pabrik rayon dan pulp PT Inti Indorayon Utama beroperasi dengan menebangi pohon pada daerah tangkapan air Danau Toba. PT IIU juga dinyatakan telah menanam pohon Eucaliptus yang rakus air. Kekalutan yang luar biasa karena terus menurunnya muka air Danau Toba menyebabkan ada yang berteori bahwa telah terjadi kebocoran di Danau Toba. Sementara pada saat cadangan air danau terus menipis, PT Inalum tetap mengoperasikan pabriknya pada kapasitas hampir penuh. Musim kering menyebabkan banyak sungai di Samosir dan Sumatera menjadi kering. Proyek PLTA Lau Renun yang mengalihkan airnya ke Danau Toba mampu sedikit menyelamatkan defisit neraca aliran air.
Akhir tahun 2008, curah hujan kembali normal dan bahkan di atas normal karena adanya fenomena La Nina. Tinggi air Danau Toba yang mencapai elevasi +905,153 menyebabkan terjadinya overflow. Pada ketinggian air di atas 905 m, tanah timbul yang sudah berubah fungsi menjadi lahan pertanian atau keperluan lain di sekeliling wilayah Danau Toba terendam air. Desember 2008, muka air danau yang terus naik menyebabkan berbagai bangunan yang didirikan di bibir pantai baik di daratan Sumatera seperti di Ajibata maupun Samosir seperti di Pangururan sudah terendam air. Kondisi ini memberikan dilema bagi PT Inalum sebagai pengelola dan operator bendungan Si Ruar. Bila bendungan ditutup, masyarakat di Danau Toba dirugikan dan bahkan dikhawatirkan akan membahayakan kekuatan bendungan. Bila bendungan di Siruar dibuka, masyarakat Asahan akan mengalami masalah karena terjadinya banjir. Secara tetap, air Lau Renun masih juga menambah volume air Danau Toba dengan debit ± 10 m3/detik yang sebelumnya tidak pernah ada. Bila tanpa upaya penanganan serius dan efektif, bencana banjir tetap jadi derita masyarakat Danau Toba atau masyarakat Asahan dan Tanjung Balai. Masuknya aliran air ke Danau Toba masih diperparah lagi dengan tingginya (± 45%) tingkat kekritisan lahan pada DTA Danau Toba.
Kembalikan Manfaat Sei Asahan Pada Tujuan Semula.
Sebagai perusahaan yang mengelola air Sei Asahan, PT Inalum dipastikan tidak dapat melepaskan tanggung jawab terhadap masalah banjir yang terjadi baik di Danau Toba maupun di Asahan/Tanjung Balai. Penyebab utama perubahan muka air Danau Toba adalah karena adanya bendungan di Siruar. Pembayaran annual fee sejak tahun 1985 oleh PT Inalum jelas tidak melepaskan PT Inalum dari kewajiban mengelola lingkungan perairan Danau Toba dan Sei Asahan. Sesuai dengan kewajiban pemrakarsa yang melakukan kegiatan terkait dengan kawasan danau dan sungai, maka PT Inalum harus  membuat laporan berkala perubahan kualitas lingkungan yang terkait dan berdampak dengan kegiatannya. Terjadinya penurunan kualitas lingkungan jelas menunjukkan bahwa upaya pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungannya tidak efektif.
Sejak beroperasinya PT Inalum sampai sekarang dan akan berakhir tahun 2013, potensi sumber daya alam yang sangat luar biasa tersebut ternyata tidak mendatangkan keuntungan yang signifikan bagi pembangunan wilayah Sumatera Utara. Sumatera Utara bahkan pernah mengalami tahun black out akibat kekurangan listrik. Sementara PT Inalum sendiri juga tidak beruntung, karena selama 30 tahun mengoperasikan pabrik peleburan aluminium dalam kondisi terus merugi. Padahal komponen biaya terbesar (± 40%) dalam peleburan aluminium adalah energi listrik yang selama ini diperoleh PT Inalum dengan harga sangat murah. Bahkan pada waktu penyerahannya kembali, bangsa Indonesia  kemungkinan masih menanggung hutang dalam jumlah yang sangat besar.  Menurut data yang dikeluarkan PT Inalum, rata rata produksi selama tigapuluh tahun adalah 173.000 ton/tahun (terendah 163,000 ton/tahun dan tertinggi 222.328 ton.), yang berarti walaupun rugi namun pabrik tetap dioperasikan 86% kapasitas terpasang.
Setelah tahun 2013, Pemerintah sudah memegang hak penuh atas operasional PLTA Asahan II yang mampu membangkitkan listrik sebanyak 617,2 MW. Pembangunan PLTA Asahan I dan III akan menambah pasokan listrik hingga mencapai 951 MW. Sumatera Utara masih memiliki sumber listrik lain dari sebesar 340 MW dari tenaga panas bumi Sibayak dan Sarulla, serta 135 MW dari PLTA/PLTMH lainnya. Bila pembangunan dapat berlangsung tanpa hambatan, maka 2013 dipastikan Sumatera Utara sudah memiliki energi listrik murah serta relatif bebas pencemaran sebesar 1426,2 MW. Ketersediaan listrik dari tenaga air dan panas bumi dapat lebih mengoptimalkan bahan bakar gas bagi keperluan industri yang selama ini hampir dua pertiga terserap untuk pembangkit listrik. Tentu saja dengan pengalaman PT Inalum yang menyatakan terus merugi dalam mengoperasikan pabrik peleburan aluminium, Pemerintah dapat merubah kebijakan untuk tidak lagi memproduksi aluminium. Sebagian besar listrik dapat dimanfaatkan untuk masyarakat. Subsidi listrik tetap perlu diberikan untuk peleburan aluminium guna memenuhi kebutuhan domestik. Namun bila nilai ekonomis listrik lebih tinggi, mengapa pabrik peleburan tidak ditutup saja, sehingga negeri ini bisa terhindar dari pencemaran udara dan air sebagai dampak operasional pabrik. Namun yang paling penting adalah mengembalikan manfaat keberadaan Sei Asahan sesuai tujuan dan impian semula rakyat Sumatera Utara. 
Penutup
Tidak seorangpun dapat membantah bahwa Danau Toba adalah kekayaan sumber daya alam yang tidak terbatas nilai ekonomi dan ekologisnya. Keberadaan air tawar pada posisi ketinggian seperti yang dimiliki Danau Toba jelas memberikan dampak terhadap kesuburan wilayah sekitarnya. Keindahan alam sekeliling Danau Toba merupakan potensi ekonomi yang bisa mendatangkan materi maupun penyejuk rohani. Tentu saja semua potensi akan mendatangkan nilai positif bila dikelola dengan baik dan benar. Tanpa pengelolaan yang tepat dan efektif, Danau Toba hanya setumpuk air yang tidak mensejahterakan masyarakat sekitarnya. Sei Asahan hanyalah sumber bencana bagi masyarakat di daerah hilirnya, baik karena kiriman enceng gondok, banjir maupun air yang membawa sedimen serta kandungan cemaran tinggi.
Beberapa fakta tidak menguntungkan jelas tidak bisa lagi kita bantah. Parapat yang dulu dikenal sebagai lokasi wisata, tidak lagi menarik dan terhapus dari daftar daerah tujuan kunjungan wisata Nasional. Pemanfaatan lahan sekitar danau serta dalam wilayah perairan yang tidak memperhatikan penurunan kualitas air, menjadikan 94 wilayah danau sudah dikuasai oleh enceng gondok. Pembiaran terjadinya pencemaran air hampir pada taraf tidak layak mendukung kegiatan wisata air.  Lemahnya pengawasan pemerintah terhadap berbagai pihak yang berusaha dengan memanfaatkan air danau maupun Sei Asahan, ternyata membuahkan bencana, baik dalam bentuk pencemaran maupun kerusakan lingkungan. Kurangnya perhatian memajukan industri wisata bahkan sampai tidak mampu mendorong kawasan Tongging-Silalahi-Panggururan-Tele-Merek yang sudah mulai menggeliat. Lemahnya pengawasan terhadap pembangunan bahkan tidak mampu mencegah berdirinya bangunan di bibir pantai dan tetap membelakangi danau.
Danau Toba tidak lagi bisa dikelola secara tradisional dengan perhatian seadanya. Danau Toba harus dimasukkan dalam jaringan anggota Komisi Danau Internasional dan dijadikan situs dunia. Badan Pelaksana Kordinasi Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba, kelompok-kelompok pengembang, lembaga-lembaga pencinta, badan-badan pengelola Danau Toba serta pengusaha harus saling berlomba meningkatkan kesejahteraan serta kesadaran lingkungan masyarakat sekitar Danau Toba demi kelestarian yang lebih alami. Tidak boleh ada masyarakat yang dirugikan baik di hulu maupun hilir Sei Asahan. Perlu dibangun grand design pengelolaan Danau Toba dan meningkatkan peran berbagai pihak untuk berpartisipasi merealisirnya. Semoga kita mampu dan memang harus mampu. (diolah dari berbagai sumber)