Rabu, 15 Juni 2011

SHINTA DAN RAMA

Shinta sangat yakin, kobaran api yang  menyala tidak  akan menghanguskan tubuhnya. Tumpukan  kayu yang menggunungi tubuhnya, dan sebentar lagi  akan menjadi  kobaran  api  tidak  menggentarkan   hati Shinta.  Dia  memang masih  suci.  Berbulan  cengkeraman  Rahwana  di Alengka,  tidak  segundah saat dia mulai merasakan Rama tidak mempercayainya lagi.  Rama,  sang suami  yang  harus  mengalahkan puluhan ksatria untuk dapat mempersuntingnya. Rama yang  dicintainya sepenuh hati. Pria  yang  didampinginya selama empat belas tahun dalam pembuangan di hutan Dandaka.  Mengapa Rama yang menentukan  uji  kesucian dengan  membakar dirinya. Mengapa harus Rama  sendiri yang memerintahkan dan mengawasi  pengumpulan kayu.  Mengapa  Rama  tidak  berusaha  membatalkan ujian kesucian ini. Apakah Rama memang tidak  lagi mempercayai sumpah kesucian yang diucapkannya.

Bujukan  Dewi Agni yang berjanji  akan  mendinginkan  api,  tidak menjanjikan kedinginan  hati Shinta.  Memang, tubuhnya tidak terbakar. Namun tiada penawar bagi hatinya mulai berkobar. Betapa tidak. Sebelum  dibakar  untuk menguji  kesuciannya,  dia masih sangat mengharapkan  sebuah senyuman penguat hati  dari  Rama.  Tak  diperolehnya.  Rama  menghantarnya   dengan  pandangan  dingin   ketika menuju  tumpukan kayu yang akan membakarnya.  Pandangan  mata  itu dinilainya sangat  angkuh.  Dari sinar  mata itu dia juga tahu, Rama ternyata  mencurigai  kesuciannya.  Jadi  kata-kata  Rama  yang mengatakan bahwa ujian itu semata untuk  membuktikan  dan  menenangkan hati  rakyat  adalah  dusta. Kalau  memang Rama tidak curiga,  persetan  dengan rakyat. Bukankah selama ini Rama juga lebih mengutamakan  pikirannya dari kepentingan dan kemauan  rakyat.  Mengapa kali  ini berlindung dibalik nama dan  atas kepercayaan rakyat.

Hangatnya  lidah  api  yang  mulai   menjilati tubuhnya,  telah menaikkan gairah  Shinta.  Gairah pengkhianatan yang dinikmatinya. Butiran  keringat di  kening,  erangan, tarikan nafas  dan  geliatan tubuhnya  menyambut dengan sempurna  pengkhianatan itu.  Mungkin  dari balik kobaran  api  Rama  bisa melihat geliatannya. Juga rona muka yang  memerah. Ah.  Persetan  dengan Rama. Shinta  telah  menghadirkan  Rahwana  dalam  angannya.  Dan  dia  tidak merasa berdosa untuk itu. Shinta  memang  pernah hampir  takluk  tatkala ditawan di Alengka. Rahwana, raksasa berwajah  dan berperangai  buruk seperti gambaran  semua  orang, ternyata lelaki ksatria. Shinta baru sadar, Rahwana  lebih ksatria dan berani menghadapi  kenyataan dari pada Rama.
"Oke. Aku memang berwajah dan berperangai buruk. Tidak segagah dan setampan Rama. apakah aku tak berhak untuk mencintai seorang perempuan yang kukagumi," Rahwana menyatakan cintanya terus terang.
"Mengapa harus aku. Aku sudah dimiliki Rama?"
"Mengapa  harus Rama yang  memilikimu,  mengapa bukan aku?"
"Aku mencintai Rama, dan Rama mencintaiku"
"Apakah kau yakin dia mencintaimu ?"
"Mengapa tidak?"
"Kau ditinggal dengan seribu batasan dan kekangan. Dia pergi berburu untuk memuaskan hatinya. Apakah kau yakin Rama benar benar mencintaimu?"
Setiap pernyataan cinta yang dikeluarkan Rahwana terlihat sangat tulus. Rahwana juga enteng saja menyatakan  bahwa  dia hanya  membawa  satu  bibit cinta pada saat kelahirannya. Cinta itu hanya akan disemai  bila  Shinta menerimanya.
"Silahkan kau tanya para dewa di kahyangan. Apa mereka ada menghadirkan wanita lain dalam  kehidupanku.  Aku hanya sekali menyatakan  cinta  pada wanita.  Dan  kaulah orangnya,  kau  harus  hargai perasaanku  padamu." Kata itu selalu diulang  oleh Rahwana setiap Shinta menampik lamarannya.
Sebagai  wanita, wajar saja kalau  sesaat  dia hampir  terlena  dengan  sanjungan  yang  langsung menyergap  seluruh  celah  hatinya.  Rahwana  yang kasar.  Rahwana  yang jantan, namun  tidak  pernah berusaha  memaksakan kehendak syahwatnya.  Rahwana yang sangat menghargai kewanitaannya. Rahwana yang sanggup  menculiknya dari Rama sang  raja  perkasa hanya  karena tergoda cinta. Kalimat  itu  kembali tergiang di telinga Shinta. Terngiang lagi. Kobaran  api  itu semakin tinggi.  Gejolak  benci  juga semakin tinggi.
"Kau hanya simbol Shinta. Bagi Rama kau  adalah simbol  kekuasaan dan kegagahannya. Aku  membutuhkanmu karena kau memiliki segala keagungan,  ketabahan,  kesetiaan dan cinta yang didambakan  laki-laki. Dalam sayembara perebutanmu, Rama bukan hanya berhasil  memboyongmu ke Ayodya. Dia  juga  sangat menikmati  kemenangan  itu. Rama tak  akan  pernah bisa jujur menyatakan mana yang lebih  membahagiakannya, memiliki kau sebagai hadiah atau memenangi pertandingan  itu  sendiri.  Agar  kau  tahu,  aku bertanding  dengan  kebenaran  dan  sejarah  untuk merebut  hatimu.  Aku sadar  berada  dipihak  yang kalah. Dewa-dewa tidak pernah berpihak kepadaku.  Besarnya pengorbanan diriku untuk  merebut cintamu juga akan dicatat sejarah", kata kata  itu diucapkan Rahwana dengan sungguh sungguh.  Rahwana tidak menujukkan kekuasaannya sebagai maharaja  di Alengka. "Cinta yang tulus harus bebas dari tekanan  dan kekuasaan", begitu yang selalu diucapkan Rahwana.

Kobaran  api masih tinggi. Dari balik  jilatan lidah api Shinta dapat melihat gambaran  kecemasan dari  wajah-wajah  rakyat  yang  menyaksikan   kesuciannya.  Wajah  yang  selalu  menyanjung  dan menyayanginya.  Mereka semua kagum atas  ketabahan Shinta  mengikuti  Rama dalam  pembuangan.  Mereka khawatir  dan cemas Shinta akan hangus dalam  api. Wajah kecemasan itu tidak terlihat pada Rama. Yang terlihat  hanya  keangkuhan  dan  kepuasan   hati. Angkuh  sebagai raja yang telah berhasil  menghancurkan Alengka dan membunuh Rahwana yang coba-coba menculik  isterinya. Puas karena  Shinta  terpaksa harus diuji kesuciannya. Pantang Rama makan  sisa. Wajah yang anggun dan berwibawa bagi rakyat. Tanpa rasa dan cinta bagi Shinta.

Panas api membara. Panas membara hati  Shinta. Kebencian itu tak tersembunyikan lagi. Menyelimuti hati, mengaburkan mata. Perlahan wajah Rama terlihat  berubah menjadi wajah Jatayu  yang  mengerang kesakitan  karena sayapnya patah dipukul  Rahwana. Kemudian  berubah lagi menjadi wajah Hanuman.  Ah, kera  yang kocak itu kini telah tiada.  Terakhir  kali  dia melihatnya di Alengka.  Kera  itu menyerahkan  cincin  Rama, dan  Shinta  memberikan tusuk kondenya pertanda dia masih selamat.  Apakah dia  dicurigai  terselingkuh  karena   menyerahkan tusuk  konde yang biasanya dijadikan senjata  terakhir  wanita  untuk  bunuh  diri  bila  dicemari. Kejamnya kecurigaan itu. Buat apa dia bunuh  diri? Rahwana tidak pernah menyentuh tubuhnya.
"Aku meminta kau jadi isteriku. Bukan memaksa. Aku ingin hatimu, bukan badanmu," Rahwana mengatakan  hal  itu sewaktu dia dipanggil  dalam  status tawanan,  dengan diiringi beberapa dayang  kedalam taman  istana  Alengka. Tidak  di  kamar.  Memang. Belum  pernah sekalipun Rahwana memaksa  masuk  ke kamarnya  seorang  diri.  Harga  dirinya   sebagai wanita tetap dihargai tinggi oleh Rahwana. Rahwana tidak  pernah  mengambil tusuk  konde  itu  karena curiga  akan  digunakannya sebagai  senjata  bunuh diri. Rahwana juga tidak curiga Shinta akan  menggunakan tusuk konde itu untuk membunuhnya.

Kini  Shinta  sangat sadar  bahwa  kecurigaan pandangan  Rama  ternyata  lebih  menakutkan  dari wajah  Rahwana.  Rahwana  sang  raksasa   berwajah bengis  tidak pernah mencoba untuk  memperkosanya. Rahwana  memiliki kesempatan dan  kekuasaan  untuk berbuat  semaunya  atas  diri  Shinta.  Dia  tidak manfaatkan. Shinta terlalu angkuh dan juga terlalu setia  dengan  Rama. Rama yang kini  tega  memanggangnya  dalam  gejolak  api  membara.  Rama  yang selalu  menuntut pengabdian dan kesetiannya.  Rama yang  selalu  menganggapnya  sebagai  isteri,  tak pernah sebagai kekasih.

Tumpukan  kayu bakar mulai berkurang dimakan api.  Tetapi tumpukan dendam dan benci dalam hati  Shinta terhadap kecurigaan Rama justru makin tinggi. Shinta mendoakan semoga semua korban yang  mati terbunuh dalam peperangan  Alengka  dan Ayodya  tidak  mengutuk dirinya. Para korban  itu  harus tahu,  mereka  mati untuk  Ayodya  dengan  Ramanya, bukan  untuk Shinta. Kumbakarna mati bukan  membela Rahwana tetapi mati untuk Alengka. Sebagaimana juga Indrajit mati karena menjadi rakyatnya Rama,  bukan untuk  merebut Shinta. Ribuan mahkluk   telah  mati untuk  mempertahankan prinsip, kepercayaan, harga diri dan keangkuhan. Rahwana  juga mati karena para dewa lebih  berpihak pada  Rama. Shinta mendoakan mereka  dan  sekaligus merapalkan penjelasan, pada posisi kematian mereka, Shinta  hanya  pelengkap untuk sejarah  bukan  jadi penyebab.
"Ah kasihan kau Rahwana," Shinta mengeluh  dan menghadirkan  terus bayang  wajah  Rahwana.  Wajah   sang pemuja.  Pemberi sanjungan yang belum pernah  diterimanya dari Rama. Gemeretik kayuan yang  terbakar, meningkatkan irama pengkhianatannya terhadap  Rama. Naik  semua hasrat birahi menjulang  bersama  asap. Naik semua penyesalan yang telah mengabaikan  cinta Rahwana. Cinta yang dibuktikan dengan upaya  penculikan serta ucapan yang  membara dan sangat menggoda.  Disertai tarikan nafas dalam  Shinta  berharap Rahwana  dapat  menyambut  penyesalannya  "diatas" sana.

Satu satu bara api mulai padam. Satu satu bara birahi  Shinta juga padam. Shinta tertidur  lelap. Wajah Rahwana membuai dalam impiannya. Puas. Puas. Shinta dapat  membuktikan bahwa kesuciannya memang  tidak ternoda. Puas meraup arti cinta sejati dari bayang  Rahwana.  Api  yang bernyala memang tidak  mampu menghanguskan tubuhnya.  Hanya kepercayaan dan  cintanya  kepada Rama  yang  menjadi abu. Dia  tetap  jadi  Shinta, lambang cinta dan kesetiaan. Tetapi tidak ada yang tahu, cinta Shinta juga ada bagi Rahwana. (Jaya Arjuna)

PODA NA LIMA

Lubis sebagai Raja Ihutan di Banjar yang baru dibukanya terlihat sangat tidak puas dengan kenyataan yang dihadapinya. Awalnya, dengan semangat dan tenaga muda yang dimiliki, dia merasa yakin untuk dapat mengukir sejarah pembuka Banua baru sebagaimana yang selalu diceritakan Bapaknya. Orang muda zaman dulu di Mandailing akan berjalan jauh dari kampungnya untuk membuka pemukiman baru. Bila tanah yang dibuka ternyata subur, maka orang lain akan datang mengikuti,  sehingga pemukiman itu akan jadi ramai. Sebuah Banjar akan berkembang menjadi Pagaran. Pagaran akan berkembang lagi menjadi Lumban, menjadi Huta dan akhirnya menjadi Banua. Bila sudah menjadi Banua (kerajaan), Lubis berharap akan dapat menjadi raja. Dia juga tahu bahwa pada zaman sekarang tidak ada lagi kerajaan. Tetapi dia masih memimpikan untuk membangun suatu tatanan kemasyarakatan yang memegang teguh kearifan warisan nenek moyang yang dirasanya sangat manusiawi dan alami. Tatanan masyarakat yang menghormati manusia dan  alam sebagai   makhluk yang sama berhak hidup untuk saling melengkapi. Perubahan sikap hidup yang berubah menjadi saling pemangsa telah membuat Lubis sangat kecewa dengan masyarakat di kampungnya. Sebagai pemimpi muda, Lubis sangat terpengaruh dengan cerita Bapaknya yang sangat membanggakan sistem kekerabatan yang telah dibangun nenek moyangnya. Sebagai pemimpi muda, kini Haharap kecewa karena sistem itu tidak akan pernah ada lagi.

Lubis baru saja menanam lima jenis pohon-pohon hutan pada tiap sudut Banjar yang dibukanya. Dia sangat terpengaruh dengan angka lima. Bapaknya pernah bercerita bahwa kehidupan orang Mandailing tidak terlepas dari angka lima. Berdirinya suatu kerajaan bertingkat lima mulai dari Banjaran hingga Banua.  Demikian juga orang Mandailing memandang permukaan alam ini atas lima satuan ketinggian, yaitu dari dataran (Napa), bergelombang (Untuk), bukit (Tor), anak gunung (Dolok) dan gunung (Sorik). Nenek moyangnya juga membagi sistem pengelolaan alam mulai dari kebun (Kobun), ladang (Auma), harangan (Hutan), hutan lebat (Tombak) dan hutan belantara (Rubaton). Lubis mengkahayalkan dalam hati,  bila anak dan cucunya melihat kelompok pohon yang ditanamnya, maka mereka  akan tetap ingat untuk menghidupkan dan berpegang teguh budaya lama.

Raungan chainsaw dari hutan di sebelah hulu Banjar telah memecah lamunan Lubis dengan masa lalu nenek moyangnya. Suara chainsaw itu membawa kembali Lubis pada kenyataan bahwa tidak akan ada lagi Rubaton. Hutan belantara yang bagi nenek moyangnya adalah wilayah yang tidak boleh diganggu karena mendukung kehidupan seluruh makhluk, ternyata bagi penjarah kayu tidak lebih dari tegakan uang dalam bentuk pohon kayu. Suara percikan air yang dulu dirasakan sangat indah di telinga  Lubis, kini lebih banyak digantikan oleh raungan chainsaw dan juga suara kendaraan menarik kayu dari hutan. Suara tumbangnya pohon kayu bagi Lubis bagaikan raungan jutaan makhluk yang kehilangan tempat hidup, tetapi bagi orang lain mungkin akan memberikan arti lain. Bagi penjarah kayu, tumbangnya pohon kayu adalah bagai dentingan ringgit emas,  atau mungkin juga bagai ketokan pintu pengantar amplop setoran karena telah membantu atau membiarkan terjadinya penjarahan kayu. Perbedaan makna sikap hidup telah membuat Lubis makin terasa asing dengan masyarakat sekelilingnya. Dia juga muak dengan sekumpulan orang yang mengakui hutan sebagai milik nenek moyangnya, sehingga berani menjual kepada penjarah kayu. Si Penjarah akan menghabisi semua kayu dan menggantikan dengan pohon kelapa sawit. Lubis sangat yakin, suatu saat nanti anak cucu pemilik hutan akan minta kerja pada si Penjarah sebagai penjaga kebun.
Lubis tahu bahwa setiap penebangan hutan akan menghabisi sumber air, karena dia melihat pada akar pohon kayu akan menetes air yang nantinya akan membentuk anak sungai. Tanah tanpa air akan mencabut orang Mandailing dari akar kehidupannya. Ganop-ganop banua martano rura, demikian ajaran nenek moyangnya. Akhir-akhir ini, di tengah kaumnya muncul pahlawan baru. Mereka itu bangga sekali karena telah mendatangkan investor yang akan memanfaatkan suymber daya hutan. Keren sekali istilah itu. Namun Lubis melihat mereka itu tidak lebih dari anjing si Penjarah hutan yang siap menggonggong untuk kepentingan tuannya. Mereka itu selalu mengatakan bahwa hutan dijadikan Tuhan untuk kesejahteraan manusia. Berdasarkan dalil tersebut, maka sahlah upaya mereka menjarah hutan. Secepat habisnya hutan, secepat itu pulalah hilangnya mata air dan mulai mengeringnya sungai. Namun bila hujan tiba, secepat itu pula aliran air akan jadi penyebab banjir yang akan merusak dan memporakporandakan seluruh Banua.
Sedih sekali Lubis siang itu. Dari ketinggian Banjarnya, dia melihat hamparan ladang sawit di bekas hutan mereka dulu. Teratur rapi. Tetapi tidak ada lagi monyet, rusa, gajah atau kepak sayap burung disitu. Bersih rapi, tetapi tidak indah dan menyejukkan hati. Lubis menggumam, mungkin mereka salah mengartikan ajaran Poda na Lima yang jadi filosofi hidup masyarakat Mandailing. Bersihkan hatimu, badanmu, pakaianmu, rumah dan pekaranganmu. Kini, mereka rapikan hutan yanag ditumbuhi berbagai tanaman dan menukarnya dengan kelapa sawit.
Semuanya memang bermula dari hati. Mata hati yang ditutup keserakahan materi duniawi tidak akan pernah mampu mendengar gebalau teriakan ketakutan jutaan penghuni pohon kayu yang baru ditumbangkan. Gagahnya penampilan dan indahnya rumah dengan pekarangan luas, ternyata saat ini telah digunakan untuk menutupi hati pemiliknya yang sebenarnya serakah, tamak dan berperilaku sebagai penjarah. Mereka menjarah kenyamanan hidup seluruh makhluk hidup generasi kini dan juga generasi mendatang. Mereka menjarah pekarangan orang lain, menjarah rumah orang lain bahkan menjarah kehidupan orang lain.  Semoga mereka tidak dikutuk oleh arwah nenek moyang di seluruh Mandailing, karena selain pendurhaka mereka juga telah jadi penebar bencana.(Jaya Arjuna)

ANAK LAUT


 “Saudara saudara, keberadaan tambak udang dan pembangunan pabrik pengolahan hasil laut di desa ini akan memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat di sini. Hasil tangkapan udang saudara akan ditampung oleh pabrik dengan harga yang lebih layak. Pabrik membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak, sehingga akan membuka lapangan kerja bagi saudara-saudara yang saat ini belum bekerja. Bagi yang biasa bekerja sebagai nelayan, perusahaan akan menampung saudara untuk bekerja pada tambak udang. Bekerja di tambak lebih aman. Anak dan isteri saudara tidak perlu cemas saat melepas pergi bekerja. Tidak akan ada lagi warga desa yang akan hilang ditelan badai lautan. Tidak ada lagi pengangguran di desa ini. Jalan dan prasarana fisik lainnya akan dibangun. Keberadaan pabrik juga akan mendorong tumbuhnya sektor informal.  Perekonomian akan berkembang lebih cepat, pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan pembangunan wilayah ...”.
Sebenarnya masih panjang  lagi pidato orang kota itu. Sebagai anak kecil, dia sudah tentu tidak tertarik dengan segala kata-kata aneh yang selama ini jarang didengarnya diucapkan orang  di kampung itu. Di kedai kopi Wak Ripin yang selalu ramai dengan orang bicara politik juga tidak ada yang pernah menyebut kata-kata aneh itu. Bukan dia saja yang tidak mengeri, Wak Sudin orang paling serba tahu di kampung itu ternyata paling duluan bertanya.
“Numpang tanya nak, nilai tambah itu apa artinya?”, kata Wak Sudin.
“Nilai tambah itu artinya kira-kira sama dengan untung pak”, jawab si orang kota.
“Kenapa tak dibilang untung saja. Kalau untung aku mengerti”.
“Nilai tambah itu cakupannya lebih luas serta ada unsur teknologi yang mendukung-nya. Dalam konteks ini........”, si Orang Kota kembali bercerita dan makin banyak lagi kata-kata aneh yang keliuar dari mulutnya. Tetapi wak Sudin tidak mau bertanya lagi. Dia mengangguk-angguk seakan akan memang sudah mengerti. Yang lain juga mengangguk-angguk. Sampai acara pertemuan di balai desa yang wajib dihadiri oleh semua bapak-bapak berakhir, tidak banyak yang bicara. Pak Kades puas. Si orang kota lebih puas lagi. Hembusan asap rokok hadiah siorang kota bagi setiap kepala keluarga yang hadir terlihat membubungkan mereka ke alam khayal yang mereka bangun  sendiri. Bapak bapak terlihat gagah menenteng Mie Instant sebagai hadiah si Orang Kota bagi para isteri di rumah.  
“Kalau banyak nilai tambah kita dapat dari pabrik tu, bapak belikan kalian Televisi”, begitulah janji bapaknya sewaktu mereka berjalan pulang ke rumah. Sampai matanya terpejam karena kantuk, masih terngiang-ngiang ditelinganya beberapa kali kata nilai tambah diucapkan bapaknya kepada maknya.
Seminggu setelah itu, beberapa penenteng map mendatangi kampung mereka. Orang orang itu mendatangi rumah ke rumah. “Pada dasarnya setiap kegiatan pasti akan mendatangkan dampak terhadap lingkungan. Dampak ini perlu diperkirakan sejak dini sehingga dapat dipersiapkan langkah penanggulangan dampak negatifnya dan pengembangan dampak positifnya”, begitu selalu kata mereka sebelum memulai wawancara. Beberapa kata-kata aneh mucul lagi. Ada yang mengatakan “Amdal, dampak negatif penting, penurunan kualitas lingkungan, proses pengambilan keputusan” dan banyak lainnya lagi. Sewaktu ditanya pendapat penduduk kampung mengenai rencana kegiatan pembangunan pabrik, semua hampir sepakat mengatakan bahwa mereka sangat mengharapkan keberadaan pabrik tersebut. Mereka yakin akan memperoleh nilai tambah yang akan meningkatkan taraf hidup mereka. Tampaknya dalam beberapa hari saja orang orang kampung itu sudah banyak yang pintar. Banyak kata-kata aneh yang sudah tidak aneh lagi. Semua seakan-akan paham benar bahwa nilai tambah akan segera berbondong memasuki kampung mereka setelah pabrik didirikan.
Masih dalam minggu itu juga, tukang ukur tanah datang. Mereka mengukur sampai ke pinggir laut. Tanah sepanjang pantai mereka jalani dan mereka lihat melalui keker bercagak. Kata mereka namanya Theodolite. Beberapa patok telah ditanam dan bahkan sudah diberi tanda. Kata orang tanda itu menyatakan bahwa tanah itu adalah kepunyaan PT ANU dan tidak dibenarkan mendirikan bangunan diatasnya. Sebagai anak kecil dia bingung, bagaimana tiba-tiba PT ANU itu memiliki tanah yang begitu luas di kampung mereka. Kata orang lagi PT ANU itu milik pejabat di Jakarta yang menjalin hubungan dagang dengan partner lokal dari Medan. Nah, makin bingung lagi dia. Mungkin nilai tambah yang dijanjikan akan diberi itu telah ditukar dengan tanah mereka. Nilai tambahnya belum dapat, tanah kampung mereka sudah jadi milik orang lain. Wajar dia bingung. Dia masih anak kecil.
Pembangunan pabrik mulai dilakukan. Truk silih berganti masuk ke kampung mereka. Ada yang membawa orang dan ada yang membawa bahan bangunan. Ada kendaraan besar pakai tangan besi. Jangkauannya panjang.  Kata orang namanya backhoe. Dia paling suka melihat cara kerja backhoe itu menggali pasir dan tanah. Menjangkau,  mengeruk ke mari  dan membuang ke sana. Di sini jadi lobang, di sana jadi gunung.
“Macam tangan raksasa. Dua tiga kali keruk saja sudah lebar lobang yang dibuatnya. Kalau aku punya tangan yang sekuat dan sepanjang itu, semua bisa kuambil,” katanya berangan penuh kekaguman. Kini, dia sudah tidak begitu kagum lagi dengan kekuatan Bapak. Dulu dia bangga sekali dengan Bapak. Jaring dan tangkapan ikan yang begitu berat bisa sekali jinjing. Bila dibandingkan dengan tangan motor gedabak itu, Bapak macam semut dengan gajah. Padahal di kampung itu badan Bapak yang paling besar. Bapak yang paling kuat. Bila dia tahu bahwa tangan raksasa ternyata digerakkan oleh tongkat tongkat kecil  saja, dan yang menggerakkan juga berbadan kecil, betapa inginnya dia menjadi oarng yang mampu menggerakkan tongkat itu. “Ternyata kalau tahu cara dan punya alatnya, badan besar belum tentu lebih kuat,” gumamnya dalam hati.
Baru beberapa hari bekerja, lubang galian sudah menjadi kolam besar. Bapak mengatakan bahwa perusahaan akan membangun tambak udang. Semua anak-anak asyik melihat orang bekerja. Makin hari tambak yang digali makin panjang.  Hampir sepanjang pantai kampung mereka, bahkan lebih. Untuk pergi main-main ke pantai, mereka harus melewati pematang-pematang tambak. Asyik juga. Pohon bakau sepanjang pantai juga sudah ditebangi. Hilang sudah kenikmatan main pasir sambil mengejar kepiting. Kalau ke pantai, anak-anak lebih banyak melihat orang bekerja memasang pipa. Kata orang-orang itu, air untuk tambak harus diambil jauh ke tengah. Pipa yang dijulurkan itu akan digunakan untuk menyedot air yang lebih bersih. Orang kota memang hebat. Bisa keruk sini dan sedot sana. Mungkin karena jangkauannya bisa lebih panjang.
Truk yang datang silih berganti selalu melewati halaman rumah mereka. Sebelum membongkar muatan, biasanya  truk itu harus antri dulu. Dan tempat perhentiannya tepat di depan rumah mereka. Karena ada satu dua orang supir yang minta minum, Mak punya ide untuk membuka warung kopi. Kalau ada warung, pasti ada kerja dan pasti ada untung. Tampaknya inilah nilai tambah yang dijanjikan kegiatan pembangunan itu. Kalau tidak salah ingat, keberadaan warung baru yang ada kaitannya dengan keberadaan kegiatan pembangunan tambak dikatakan si Orang Kota sebagai nilai tambah dari sektor informal. Kini dia jadi kagum kepada Mak. Sungguh. Dia tidak tahu apa artinya sektor informal itu.  Tetapi yang jelas mereka tidak kekurangan uang lagi sekarang. Bapaknya sudah pakai jam tangan. Kulitnya yang hitam tampak kontras dengan warna kuning mas rantai jam.  Mak juga membeli baju baru. Bedak juga. “Kalau kita berdandan dan terlihat rapi, pembeli akan lebih yakin berbelanja,”  begitu kata Mak meyakinkan Bapak. Bapak senang. Memang sejak mulai berdandan, Mak terlihat lebih cantik. Dari dulu pun dia yakin Mak memang cantik.  Pembeli makin ramai sesuai dengan makin banyaknya kendaraan pembawa bahan bangunan dan mesin-mesin peralatan pabrik. Mak sudah tidak sanggup sendiri lagi. Bapak juga kewalahan. Adik Bapak yang biasa dipanggil Makcik Temah diminta datang membantu.  Kedatangan Makcik Temah yang kata Mak sudah janda itu makin menambah semaraknya warung kopi mereka. Wak Tipah pun sudah dipanggil untuk membantu memasak. Selain warung kopi kini mereka juga berjualan nasi ramas. Dia tidak perlu lagi menahan lapar karena nasi belum masak seperti selama ini kalau Mak lagi malas masak, atau kalau Bapak lagi melaut. Kini dia tidak perlu minta sama Mak lagi untuk mengambil nasi atau tambah ayam goreng. Yang penting jangan ganggu Mak yang lagi sibuk. Ambil sendiri sepuasnya. Kini dia juga dapat menikmati nilai tambah dari kegiatan warung Mak.
Pabrik mulai beroperasi. Truk tidak seramai dulu lagi. Tetapi langganan Mak tidak berkurang. Sebahagian karyawan langganan rantangan sama Mak. Karyawan pabrik kebanyakan perempuan. Kata orang salah satu langganan nasi rantang Mak adalah pacar Bapak. Bapak kini ikut kerja di pabrik. Jabatannya mandor. Bapak tidak jadi nelayan lagi sekarang.  Orang kampung juga tidak ada lagi yang jadi nelayan. Semuanya jadi buruh pabrik atau menjaga tambak udang. Lebih aman dan pendapatan lebih terjamin. Uang hasil menjual perahu bisa membeli emas atau barang elektronik.  Banyak isteri yang menyuruh suaminya menjual perahu. Tidak perlu ke laut, nanti ditelan badai.
Dia sendiri juga bukan anak laut lagi. Dia sudah tidak pernah main ke laut. Jalan ke laut sudah dipagar. Kalaupun dia masih dapat mendengar suara ombak, untuk main di pantai  sudah tidak mungkin lagi. Siapa yang mau mengelilingi pagar tambak udang kalau hanya untuk main-main. Bukankah menonton filem kartun, tembak-tembakan, bunuh-bunuhan dan peluk-pelukan di televisi lebih memukau dari main ombak. Dia sudah mulai mengerti apa itu pacaran. Sejak Bapak membeli televisi sudah banyak yang diketahuinya. Ciuman pun dia sudah tahu caranya. Bukan hanya di televisi saja dilihatnya. Makcik Temah pernah dipergokinya sedang dicium bang Amran  di kamar mandi. Hanya sebentar Makcik Temah menghindar pandang bila bertemu dengannya. Mungkin karena dia tidak pernah cerita dengan siapa-siapa, Makcik Temah menganggap dirinya bisa diajak damai. Sesekali Makcik Temah menyelipkan uang tambahan belanja di kantongnya. Dia tahu uang itu diambil Makcik Temah dari laci uang Mak. Walau hanya sekali-sekali dia mendapat nilai tambah dari Makcik Temah yang mencurikan uang Mak, namun Makcik temah sudah berkali-kali dipergokinya berciuman atau berpelukan dengan Bang Amran di belakang warung. Setiap kali kepergok, besoknya dia pasti dapat uang tambahan. Lumayan juga imbalan atas sikap diam yang dilakukannya atas kesalahan Makcik Temah. Kini dia menganggap ciuman bukan suatu hal yang tabu lagi. Sama dengan tidak tabunya lagi mengatakan pantat, karena setiap hari didengarnya dari telvisi orang meneriakkan pinggang, pinggul dan pantat. 
Kalau Makcik Temah berpacaran dengan Bang Amran dia masih dapat menerima. Mereka berpelukan dia juga tidak perduli. Makcik Temah kan janda. Ada hal yang tidak dapat diterimanya dan hampir  disampaikannya pada Bapak. Secara tak sengaja dia melihat pantat Mak diremas Wak Yono. Mak diam saja.  Kok bisa? Sewaktu Mak mengatakan pada Bapak akan ikut truk Wak Yono ke kota untuk belanja keperluan warung, dia hampir protes. Untuk menjaga Mak, dia minta ikut ke kota.  Mak setuju saja. Dalam perjalanan dia melihat tangan Wak Yono berkali-kali singgah di lutut Mak sebelum mengganti perseneling. Mak diam saja. Kok Bisa. Mungkin agar dia tidak melihat kegiatan remas-remas itu, Mak meletakkan tasnya dipangkuan. Singgah tidaknya tangan wak Yono kini hanya bisa dilihatnya dari perubahan air muka Mak di kaca spion. Karena Mak tidak pernah berusaha melarang, dia akhirnya menganggap bahwa  Wak Yono memang berhak memperoleh nilai tambah dengan meremas lutut atau pantat Mak karena telah memberi tompangan gratis pada Mak.
Kini pabrik sudah beberapa tahun beroperasi. Suasana kampung sudah banyak berubah. Hampir setiap bubungan atap rumah sudah punya antena TV. Walau tinggal di pinggir pantai oarng kampung tidak pernah lagi terkena air laut. Pagar tambak udang yang membentang di antara dua muara sungai telah memisahkan mereka  dari kehidupan laut. Deburan ombak yang hanya dua ratus meter dari rumah mereka sudah dianggap sangat menakutkan, terutama bila badai datang. Anak-anak kecil yang tidak akrab lagi dengan ombak akan ketakutan dan menjerit di ketiak maknya bila ombak besar menghempas bertalu-talu. Tidak ada lagi carut dan teriakan khas penarik pukat. Hanya dalam beberapa tahun generasi nelayan sudah hapus. Sekarang mereka karyawan. Setiap dua minggu mereka akan terima uang gaji. Enak dan lebih pasti. Tak peduli musim ombak pasang atau tidak. Mereka tidak akrab lagi dengan tantangan. Semua tidak ada yang boleh bergelora bila masih ingin jadi karyawan. Tidak ada yang protes bila sampai saat ini mereka hanya digaji sebagai karyawan harian lepas. Perusahaan memang tidak mau banyak-banyak mendaftarkan karyawannya ke Depnaker karena harus membayar Jamsostek. Sungguh, dia tidak tahu apa itu Jamsostek. Sedang orang dewasa saja yang jadi karyawan pabrik tidak tahu apa itu Jamsostek, apalagi dia.
Makcik Temah sudah punya anak. Suaminya Wak Jenal. Tidak berapa lama setelah Bapak menumbuk Wak Amran, dan Makcik Temah turut melempar pakai sandal, dia tidak pernah lagi melihat Wak Amran.  Kata orang, Wak Amran tidak bertanggung jawab. Mau yang enaknya saja. Dia masih ingat Wak Jenal sebelum jadi suami Makcik Temah pernah juga dipukul Bapak.  Dia kasihan lihat Wak Jenal. Orangnya baik. Wak Jenal harus jadi suami Makcik Temah karena kepergok Bapak  berduaan di bawah pohon nangka di belakang warung. Padahal dia tahu Makcik Temah dan Wak Amran lebih sering dan lebih lama berduaan di bawah pohon nangka itu. Dia juga pernah melihat Makcik Temah menguburkan bungkusan di bawah pohon nangka itu. Waktu itu Nek Piah datang karena dijeput Bapak dari kota T. Nek Piah disuruh mengusuk Makcik Temah. Setelah dikusuk Nek Piah, Makcik Temah sakit dua hari. Dia geli melihat Bapak dan Mak berbisik membicarakan masalah pengguguran. Padahal dia sudah tahu apa itu pengguguran. Karyawan-karyawan pabrik ada juga yang menggugurkan. Biasanya tidak lama setelah pesta layar tancap atau ada yang mengawinkan pakai ngundang band atau nangggap wayang.
Kehidupan di kampung mereka juga sudah banyak yang berubah. Tukang kredit biasanya akan datang setiap dua minggu sesuai dengan jadwal gajian. Rumah penduduk banyak yang dijadikan rumah sewa. Di kampung mereka sudah tidak asing lagi bila ada yang menempelkan “disini terima kost wanita,” di dinding rumahnya. Bila ada yang rumah kost yang lelaki dan wanitanya dicampur, juga tidak ada yang mau peduli lagi. Yang penting pendapatan rumah tangga bertambah. Nilai tambah keberadaan proyek juga makin  dapat dirasakan kebenarannya.
Ribut-ribut atau perselisihan akibat beda kepentingan atau kesenjangan sosial  yang dulu  disebut orang kota sebagai dampak negatif keberadaan proyek hanya sekali terjadi. Wak Ripin yang terkenal banyak bicara di warung kopi dulu pernah dijanjikan oleh perusahaan akan dibantu usaha ternak bebeknya. Dia boleh mendapatkan sisa kulit udang dengan gratis. Bebeknya berkembang biak dengan cepat. Usahanya ini diikuti oleh penduduk yang lain. Tetapi sejak pabrik membuat kerjasama dengan pabrik pakan ternak di kota M, penduduk tidak dapat lagi jatah kulit udang. Nilai tambah yang sudah dinikmati penduduk kini kembali berpindah menjadi nilai tambah bagi perusahaan. Kata orang perusahaan, kulit udang tidak lagi diberikan gratis karena dapat menyebabkan terjadinya penyebaran limbah padat dalam areal kampung tanpa dapat dikontrol oleh perusahaan. Kerjasama pemanfaatan limbah padat oleh perusahaan pakan ternak diupayakan dalam rangka mengurangi dampak tidak langsung dari kegiatan terhadap lingkungan. Limbah padat yang berbau busuk ini dapat menurunkan kualitas lingkungan. Wah. Padahal dia tahu tidak ada penduduk yang merasa keberatan, bahkan senang. Tentu saja banyak yang protes. Tetapi karena istilah-istilah aneh itu tidak ada yang mengerti, mereka terpaksa diam. Apalagi bila dikatakan bahwa kebijaksanaan itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah dan demi tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Siapa lagi yang berani protes.  Namun demikian perusahaan menjanjikan nilai tambah lain. Bagi peternak yang punya anak dan ingin bekerja di perusahaan dapat langsung diterima kapan saja mau. Hal ini cukup menarik. Tersedianya lapangan kerja menyebabkan anak-anak tidak mau lagi melanjutkan pendidikan. Cukup tamat SMP, langsung bisa bekerja.   
Badai besar datang melanda keluarga mereka. Malam itu Bapak pulang lebih cepat dari kerja shift malam. Mak masih belum pulang. Kata Mak dia pergi belanja ke kota T. Mak menompang truk Wak Samin. Bapak menunggu Mak di depan warung sambil merokok. Banyak sudah puntung rokok Bapak. Menjelang jam satu malam Mak pulang bawa belanjaan. Mak dan Bapak bertengkar. Berkali-kali Bapak menampar Mak yang disertai sumpah serapah.  Mak menjerit. Tidak ada yang berani melerai. Nama Wak Yono disebut-sebut. Juga namaku. Waduh, bagaimana kalau aku diminta jadi saksi bahwa Mak tidak ada main-main dengan Wak Yono. Apa memang benar mereka ada main. Kalau hanya remas-remas dengkul dan pantat, mengapa Bapak sampai marah sekali. Sampai hatikah dia untuk menceritakan masalah remas-remasan itu. Bukankah Mak adalah tukang kumpul nilai tambah selama ini. Berkat nilai tambah Mak itu dia disegani di sekolah oleh kawan-kawannya, karena sering mentraktir mereka minum es dan makan bakso.
“Mak jahat, mengapa dia biarkan Wak Yono meremas pantatnya. Mak kan isteri Bapak,“ dia menyumpah Mak dalam hatinya.  Mak masih menangis. Bapak kembali pergi kerja. Mak masuk kamar, dia pura-pura tidur. Dia takut kalau tiba-tiba dipukul Mak. Itu mungkin saja terjadi kalau Mak menuduhnya yang mengadu soal remas-remasan itu.
“Kalau cuma remas-remas apa salahnya. Kan mereka tidak seperti Makcik Temah yang pakai peluk-pelukan dan cium-ciuman,” dirinya yang lain mencoba menyoal.
“Peluk-pelukan pun kan tidak salah. Lihat saja di TV. Peluk dan cium kan masalah biasa,” dia yang lain bergumam lagi.
“Tentu saja salah. Kata orang kan itu berdosa,” jawab yang lain lagi.
“Eh dosa itu apa. Masak itu saja berdosa. Bapak kan juga pernah berdosa,” kata yang lain  lagi.
“Ya. Waktu Cik Ijah mengambil nasi rantang kan pantatnya juga diremas Bapak. Bapak berani berbuat begitu karena Mak sedang belanja ke kota,”  kata yang lain lagi.
“Mungkin saja Mak dan Wak Yono ada main. Bukankah setiap pergi ke kota T aku selalu diantar Mak ke tempat main Video Game. Aku boleh main sepuasnya. Wak Yono pergi dengan Mak untuk belanja”. Kembali dalam dirinya ada yang meragukan kesetiaan Mak.
“Kan memang mereka pergi belanja,” kembali ada yang menyoal keraguannya.
“Mengapa sampai lama sekali?” tanya dirinya yang lain lagi.
“Ya, sewaktu menjemputnya selesai belanja Mak terlihat sangat segar. Macam habis mandi. Masak ada orang belanja sambil mandi?”
Galauan tanya jawab dirinya dengan dirinya yang lain lagi, dan yang lain lagi membuatnya pening. Dia tidak dapat menentukan mana yang baik dan buruk. Yang benar dan yang salah. Apakah ketidak tahuan itu karena dia tidak pernah mengaji? Mungkin saja. Setiap akan pergi mengaji dia selalu menangis. Jam mengaji itu bertepatan waktunya dengan tayangan filem kartun kesayangannya. Berkali-kali dia bertengkar dengan Mak dan Bapak karena disuruh mengaji. Berkali-kali dia merajuk. Akhirnya Mak dan Bapak lupa bahwa dia memang harus mengaji. Sebagai anak kecil dia memang tidak perlu mencarikan jawaban mana yang salah dan yang benar antara Bapak dan Mak. Segera setelah dirinya merasa malas untuk saling bertanya, dia tertidur. Lelap.
Hari-hari berikutnya Bapak dan Mak tampak  biasa-biasa saja. Bapak tetap pergi ke pabrik. Mak jualan seperti biasa. Wak Yono lama tidak muncul. Kata orang truknya berlanggar dan terpaksa masuk bengkel. Kalau belanja keperluan warung ke kota T, Mak ikut dengan truk Wak Karim atau Wak Samin. Atau dengan siapa saja yang akan ke kota T.  Bapak tampaknya tidak mau peduli. Dia yang kehilangan nilai tambah. Tidak ada lagi main Game sepuasnya seperti waktu pergi dengan Wak Yono. Dia secara tidak terpaksa harus ikut mengawani Mak pergi belanja. Sekolah bisa cabut dulu.
“Anak kecil belum begitu perlu sekolah,” begitu kata Mak, “Kalau sudah besar sedikit baru tidak boleh cabut sekolah lagi. Mak juga dulu tidak sekolah kok!”
Mak tidak pernah menyinggung masalah pertengkarannya dengan Bapak. Dia juga seperti biasanya tidak pernah bicara, apalagi bertanya. Mungkin juga dugaannya bahwa antara Mak dan Wak Yono ada main itu memang benar. Buktinya kalau belanja menumpang truk Wak Samin sebentar saja sudah selesai. Untuk membuang waktu Mak ikut mengawani Cik Lela berjualan. Dia bisa melihat orang jual obat. Walaupun tidak ada lagi yang dibeli, dia dan Mak tetap pulang menjelang malam.  Dia tidak tahu maksud Mak berlama-lama di kota T tanpa ada yang dikerjakan. Mungkin Mak capek menjaga kedai. Lagipula Makcik Temah sudah dapat dipercaya.
Sudah dua kali belanja belakangan ini Mak kembali menyuruh dia main Video Game.  Mak tampaknya lebih gembira setiap mau pergi belanja.  Dia tentu saja lebih gembira lagi. Tetapi kegembiraan itu tidak lama. Pada waktu belanja ketiga, badai besar itu datang. Bukan dari laut. Tangan Bapak yang jadi penyebabnya. Sore itu pajak gempar. Semua orang membicarakan adanya  pembunuhan di Losmen MM. Mak dan Wak Yono mati dibacok orang dalam kamar losmen itu. Mereka kedapatan sedang berduaan dalam kamar. Telanjang. Bapak membacok mereka sekaligus. Bapak ditangkap. Bapak tidak melawan. Dia melihat Bapak dibawa polisi. Bapak sempat memegang kepalanya.
“Kau laki-laki. Pantang harga diri laki-laki dihina orang. Kalau kau besar, kau harus jadi laki-laki,” begitu kata Bapak sebelum diangkut naik mobil polisi. kata-kata Bapak itu akan diingatnya. Kini dia kembali bangga dan kagum dengan Bapak. Bapak ternyata tidak takut polisi. Bapak bertanggung jawab atas pembunuhan yang dilakukannya. Bapak laki-laki. Dia bangga. Dia juga tidak tahu kenapa dia bangga. Dia juga tidak tahu apa alasan untuk bersedih. Kata orang dia kini kehilangan Mak. Dalam hati dia berkata, “Mereka kan tidak tahu, dari dulu aku sudah kehilangan Mak. Sejak Mak membiarkan dirinya diremas Wak Yono, aku benci Mak. Seorang Mak harus menjaga harga diri.”
Semua penduduk kampung gempar karena Bapak jadi pembunuh. Dia hanya diam sewaktu banyak yang menyuruhnya bersabar dan jangan terpengaruh atas kejadian itu.
“Walaupun Bapakmu pembunuh, kau harus tetap hormat padanya. Jangan lupa doakan dia agar bertobat dan cepat bebas kembali untuk menjagamu,” begitu selalu kata mereka itu. Dia hanya diam. Sama seperti yang lalu. Bedanya kalau dia sekarang diam, mereka mengatakan karena jiwanya sangat terpukul atas kejadian pembunuhan Mak. Padahal sudah lama dia malas berbicara. Sejak Mak sibuk menjaga kedai untuk  mengumpulkan nilai tambah. Sejak Bapak jadi mandor pabrik, dia sudah malas bicara dengan Bapak. Dia pernah melihat Bapak membentak anak buahnya tetapi bicara tertunduk-tunduk dengan manager pabrik. Dia benci itu. 
Kejadian pembunuhan yang dilakukan Bapak cepat selesai disidangkan. Bapak mengaku. Bapak masuk surat kabar. Dia mendengar dari orang bahwa motif Bapak membunuh karena  perselingkuhan. Dia tidak tahu apa itu perselingkuhan. Dia hanya tahu harga diri Bapak tersinggung karena Mak kedapatan di dalam kamar berduaan dengan Wak Yono. Tidak akan ada yang mau menerima bahwa kekesalan Bapak yang tercabut akarnya sebagai anak laut dan biasa menentang badai juga termasuk penyebabnya. Mana ada yang mau menghubungkan pembunuhan yang Bapak lakukan juga punya kaitan dengan keberadaan pabrik. Yang pasti kejadian itu bagi dirinya jelas tidak termasuk punya nilai tambah sebagai dampak keberadaan pabrik. Dia mendengar pernyataan kasihan orang lain karena sekecil ini sudah kehilangan kesempatan mendapat kasih sayang orang tuanya. Dia hanya diam. Mereka tidak tahu, memang sudah lama dia kehilangan keduanya. (jaya arjuna)

Catatan  :
keker bercagak
=
teropong yang ditopang pakai tripoid
gedabak
=
besar
cabut
=
mangkir sekolah
pajak
=
pasar