Rabu, 15 Juni 2011

PODA NA LIMA

Lubis sebagai Raja Ihutan di Banjar yang baru dibukanya terlihat sangat tidak puas dengan kenyataan yang dihadapinya. Awalnya, dengan semangat dan tenaga muda yang dimiliki, dia merasa yakin untuk dapat mengukir sejarah pembuka Banua baru sebagaimana yang selalu diceritakan Bapaknya. Orang muda zaman dulu di Mandailing akan berjalan jauh dari kampungnya untuk membuka pemukiman baru. Bila tanah yang dibuka ternyata subur, maka orang lain akan datang mengikuti,  sehingga pemukiman itu akan jadi ramai. Sebuah Banjar akan berkembang menjadi Pagaran. Pagaran akan berkembang lagi menjadi Lumban, menjadi Huta dan akhirnya menjadi Banua. Bila sudah menjadi Banua (kerajaan), Lubis berharap akan dapat menjadi raja. Dia juga tahu bahwa pada zaman sekarang tidak ada lagi kerajaan. Tetapi dia masih memimpikan untuk membangun suatu tatanan kemasyarakatan yang memegang teguh kearifan warisan nenek moyang yang dirasanya sangat manusiawi dan alami. Tatanan masyarakat yang menghormati manusia dan  alam sebagai   makhluk yang sama berhak hidup untuk saling melengkapi. Perubahan sikap hidup yang berubah menjadi saling pemangsa telah membuat Lubis sangat kecewa dengan masyarakat di kampungnya. Sebagai pemimpi muda, Lubis sangat terpengaruh dengan cerita Bapaknya yang sangat membanggakan sistem kekerabatan yang telah dibangun nenek moyangnya. Sebagai pemimpi muda, kini Haharap kecewa karena sistem itu tidak akan pernah ada lagi.

Lubis baru saja menanam lima jenis pohon-pohon hutan pada tiap sudut Banjar yang dibukanya. Dia sangat terpengaruh dengan angka lima. Bapaknya pernah bercerita bahwa kehidupan orang Mandailing tidak terlepas dari angka lima. Berdirinya suatu kerajaan bertingkat lima mulai dari Banjaran hingga Banua.  Demikian juga orang Mandailing memandang permukaan alam ini atas lima satuan ketinggian, yaitu dari dataran (Napa), bergelombang (Untuk), bukit (Tor), anak gunung (Dolok) dan gunung (Sorik). Nenek moyangnya juga membagi sistem pengelolaan alam mulai dari kebun (Kobun), ladang (Auma), harangan (Hutan), hutan lebat (Tombak) dan hutan belantara (Rubaton). Lubis mengkahayalkan dalam hati,  bila anak dan cucunya melihat kelompok pohon yang ditanamnya, maka mereka  akan tetap ingat untuk menghidupkan dan berpegang teguh budaya lama.

Raungan chainsaw dari hutan di sebelah hulu Banjar telah memecah lamunan Lubis dengan masa lalu nenek moyangnya. Suara chainsaw itu membawa kembali Lubis pada kenyataan bahwa tidak akan ada lagi Rubaton. Hutan belantara yang bagi nenek moyangnya adalah wilayah yang tidak boleh diganggu karena mendukung kehidupan seluruh makhluk, ternyata bagi penjarah kayu tidak lebih dari tegakan uang dalam bentuk pohon kayu. Suara percikan air yang dulu dirasakan sangat indah di telinga  Lubis, kini lebih banyak digantikan oleh raungan chainsaw dan juga suara kendaraan menarik kayu dari hutan. Suara tumbangnya pohon kayu bagi Lubis bagaikan raungan jutaan makhluk yang kehilangan tempat hidup, tetapi bagi orang lain mungkin akan memberikan arti lain. Bagi penjarah kayu, tumbangnya pohon kayu adalah bagai dentingan ringgit emas,  atau mungkin juga bagai ketokan pintu pengantar amplop setoran karena telah membantu atau membiarkan terjadinya penjarahan kayu. Perbedaan makna sikap hidup telah membuat Lubis makin terasa asing dengan masyarakat sekelilingnya. Dia juga muak dengan sekumpulan orang yang mengakui hutan sebagai milik nenek moyangnya, sehingga berani menjual kepada penjarah kayu. Si Penjarah akan menghabisi semua kayu dan menggantikan dengan pohon kelapa sawit. Lubis sangat yakin, suatu saat nanti anak cucu pemilik hutan akan minta kerja pada si Penjarah sebagai penjaga kebun.
Lubis tahu bahwa setiap penebangan hutan akan menghabisi sumber air, karena dia melihat pada akar pohon kayu akan menetes air yang nantinya akan membentuk anak sungai. Tanah tanpa air akan mencabut orang Mandailing dari akar kehidupannya. Ganop-ganop banua martano rura, demikian ajaran nenek moyangnya. Akhir-akhir ini, di tengah kaumnya muncul pahlawan baru. Mereka itu bangga sekali karena telah mendatangkan investor yang akan memanfaatkan suymber daya hutan. Keren sekali istilah itu. Namun Lubis melihat mereka itu tidak lebih dari anjing si Penjarah hutan yang siap menggonggong untuk kepentingan tuannya. Mereka itu selalu mengatakan bahwa hutan dijadikan Tuhan untuk kesejahteraan manusia. Berdasarkan dalil tersebut, maka sahlah upaya mereka menjarah hutan. Secepat habisnya hutan, secepat itu pulalah hilangnya mata air dan mulai mengeringnya sungai. Namun bila hujan tiba, secepat itu pula aliran air akan jadi penyebab banjir yang akan merusak dan memporakporandakan seluruh Banua.
Sedih sekali Lubis siang itu. Dari ketinggian Banjarnya, dia melihat hamparan ladang sawit di bekas hutan mereka dulu. Teratur rapi. Tetapi tidak ada lagi monyet, rusa, gajah atau kepak sayap burung disitu. Bersih rapi, tetapi tidak indah dan menyejukkan hati. Lubis menggumam, mungkin mereka salah mengartikan ajaran Poda na Lima yang jadi filosofi hidup masyarakat Mandailing. Bersihkan hatimu, badanmu, pakaianmu, rumah dan pekaranganmu. Kini, mereka rapikan hutan yanag ditumbuhi berbagai tanaman dan menukarnya dengan kelapa sawit.
Semuanya memang bermula dari hati. Mata hati yang ditutup keserakahan materi duniawi tidak akan pernah mampu mendengar gebalau teriakan ketakutan jutaan penghuni pohon kayu yang baru ditumbangkan. Gagahnya penampilan dan indahnya rumah dengan pekarangan luas, ternyata saat ini telah digunakan untuk menutupi hati pemiliknya yang sebenarnya serakah, tamak dan berperilaku sebagai penjarah. Mereka menjarah kenyamanan hidup seluruh makhluk hidup generasi kini dan juga generasi mendatang. Mereka menjarah pekarangan orang lain, menjarah rumah orang lain bahkan menjarah kehidupan orang lain.  Semoga mereka tidak dikutuk oleh arwah nenek moyang di seluruh Mandailing, karena selain pendurhaka mereka juga telah jadi penebar bencana.(Jaya Arjuna)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar